Jakarta – Di tengah dunia modern yang semakin bising oleh pencitraan, Aristoteles kembali berbicara melalui gagasannya: “Orang bijak tidak mencari tepuk tangan, tetapi kebenaran. Sebab pada akhirnya, kebenaran itulah yang akan memahkotai dirinya sebagai pemenang.”
Pemikiran filsuf besar Yunani itu seolah menjadi cermin bagi zaman ini,ketika kebenaran sering kali dikorbankan demi popularitas, dan integritas kalah oleh kebutuhan untuk disukai publik. Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles menegaskan bahwa tujuan sejati manusia adalah eudaimonia, yaitu kebahagiaan yang muncul dari hidup sesuai dengan kebajikan.
Kebenaran, bagi Aristoteles, bukan sekadar pernyataan yang benar, tetapi jalan hidup yang menuntun manusia menuju keutamaan. Karena itu, orang bijak tidak terikat oleh sorak atau sanjungan, sebab ia tahu bahwa keberanian moral terletak pada kesetiaan terhadap prinsip, bukan pada penilaian sesaat dari orang banyak.
“Kebenaran adalah sumber martabat, dan hanya mereka yang berani memeliharanya yang dapat mencapai kebahagiaan sejati,” tulis Aristoteles dalam tafsir etika kebajikannya.
Dalam Metaphysics, ia menegaskan bahwa setiap manusia secara alami menginginkan pengetahuan. Maka, menyembunyikan kebenaran demi pujian adalah bentuk pengkhianatan terhadap kodrat manusia itu sendiri. Keberanian menyuarakan kebenaran bukanlah tindakan emosional, melainkan kewajiban moral terhadap sesama.
Bagi Aristoteles, membela kebenaran berarti menjaga keadilan agar dunia tidak terjerumus dalam kepalsuan yang menyesatkan. Ia menyebut keutamaan sebagai the golden mean,jalan tengah yang menuntut keseimbangan antara kesombongan dan kepengecutan. Dalam konteks ini, keberanian menyuarakan kebenaran harus lahir dari ketulusan, bukan dari ambisi untuk diakui.
Pemikiran Aristoteles terasa relevan dengan kondisi sosial dan politik hari ini. Ketika banyak tokoh lebih sibuk membangun citra daripada memperjuangkan nilai, pesan sang filsuf menjadi penuntun moral: bahwa kebenaran tidak memerlukan tepuk tangan, tetapi pembelaan yang tulus.
Kemenangan sejati, menurut Aristoteles, bukanlah sorak-sorai manusia, melainkan kedamaian batin yang lahir dari kesetiaan pada kebenaran.
Dalam konteks jurnalisme dan kepemimpinan publik, gagasan ini menjadi pengingat bahwa keberanian berbicara benar adalah fondasi dari peradaban yang berkeadilan. Di tengah arus kebohongan yang dibungkus pencitraan, mereka yang tetap setia pada kebenaran adalah pewaris sejati kebijaksanaan Aristoteles.
Editor: Tim Redaksi
Penulis: Rizkan Al Mubarrok – Ketua AWNI DPW Provinsi Jambi
Rubrik: Filsafat Kehidupan & Kepemimpinan Moral

















